Boni Hargens : Jika Prabowo-Sandi Menang Pilpres Indonesia akan Kembali Ke Orba dan Mundur 52 Tahun

Tribunnews 2019-01-05

Views 37

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUN-VIDEO.COM, JAKARTA - Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menduga Indonesia akan kembali ke masa kepemimpinan orde baru (Orba) atau mundur sebanyak 52 tahun ke belakang jika Pilpres 2019 dimenangkan oleh pasangan nomor urut 02, Prabowo Subianto - Sandiaga Uno.

Hal itu, dinilai Boni, lantaran sejumlah dukungan dari organisasi kemasyarakatan garis keras, HTI, serta dukungan keluarga Cendana di belakang Prabowo.

Itu pula yang disebut Boni sebagai indikasi yang dapat membuat kepemimpinan Indonesia layaknya orde baru.

Hal itu disampaikan Boni dalam diskusi bertema 'Membaca Masa Depan : Seperti Apa Indonesia Jika Jokowi atau Prabowo Terpilih?' di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (4/1/2019).

"Dukungan HTI, Cendana menjadi indikasi kuat jika Prabowo menang akan mendaur ulang Orde Baru, maka Indonesia akan mundur 52 tahun, kembali ke dekade awal ketika orde baru dimulai," ujar Boni.

Boni menyebut, jika Prabowo merupakan sosok yang memiliki beban kasus hak asasi manusia di masa lalu.

Kehadiran kubu Cendana dan keinginan untuk menerapkan kebijakan politik Soeharto akan menarik mundur supremasi hukum dan kematian HAM di masa depan.

"Ini jelas berbahaya, bisa-bisa kebebasan tidak bisa ditegakan," terang Boni.

Selain itu, ia menyebut Prabowo-Sandiaga merupakan pasangan yang ahli dalam melakukan retorika.

Meskipun dalam kampanye hak tersebut memang bernilai positif, tetapi Boni mengkhawatirkan jika dalam pemerintahan, baik Prabowo dan Sandi justru hanya bisa bicara dan tidak bisa bekerja.

Lebih jauh, Boni menuding dalam sejumlah kampanye paslon nomor urut 02 itu lebih sering melakukan black campaig sehingga dapat mengindikasi ikatan dukungan politik.

Mulai dari dasar paksaan cemas, resah, takut, benci terhadap lawan politik atau siapapun yang dikategorikan sebagai musuh mereka.

"Prabowo-Sandi sangat kuat beretorika, berkampanye, mereka berhasil membangun persepsi dengan begitu cepat dan mengobok-obok emosi kolektif masyarakat. Hal ini positif untuk proses pertarungan politik tetapi negatif karena di saat melahirkan pemerintahan, keduanya hanya ahli bicara tapi bukan ahli bekerja," ungkapnya.

Share This Video


Download

  
Report form