TRIBUN-VIDEO.COM - Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit lahir pada 30 Juli 1923 di Belitung, Sumatera Selatan dengan nama asli Achmad Aidit.
DN Aidit adalah sulung dari enam bersaudara, dimana dua orang adiknya adalah adik tiri.
Ayah DN Aidit bernama Abdullah Aidit, seorang mantra kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di Belitung pada masa itu.
Sedangkan sang ibu, Mailan merupakan perempuan yang lahir dari keluarga ningrat.
Ayah Mailan, Ki Agus Haji Abdul Rachman adalah seorang tuan tanah, orang-orang Belitung biasa menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari: sejauh jari menunjuk, itulah tanah mereka.
Sedangkan Abdullah Aidit adalah anak Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang cukup berhasil.
Sehingga bisa dikatakan bahwa DN Aidit lahir di tengah keluarga yang terpandang.
Karena itu, keluarga ini mudah bergaul dengan polisi di tangsi, orang-orang Tionghoa di pasar, dan none-none Belanda di Gameenschapelijke Mijnbouw Billiton, sebuah perusahaan tambang timah milik Belanda yang hanya berjarak dua kilometer dari rumah DN Aidit.
Kisah asmara DN Aidit jarang terdengar, kecuali dengan Setanti, seorang dokter yang kemudian menjadi istrinya.
DN Aidit pernah terdengar menyukai seorang gadis yang juga dicintai Utuy Tatang Sontani, seorang sastrawan kiri.
Namun akhirnya gadis itu menikah dengan lelaki lain, dan keduanya bai DN Aidit maupun Utuy hanya tersenyum simpul.
Dari pernikahannya dengan Soetanti, DN Aidit dikaruniai lima orang anak, di antaranya Ibarruri Putri Alam, Ilya Aidit, Iwan Aidit, Ilham Aidit, Irfan Aidit.
Riwayat Pendidikan
Di samping mudah bergaul, lahir dari keluarga terpandang juga membuat DN Aidit dan saudara-saudaranya memiliki akses untuk bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar pemerintah Belanda saat itu.
Kini bangunan HIS masih berdiri dan berganti wujud menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tanjung Pandan.
Meski dididik di sekolah Belanda, DN Aidit dan saudara-saudaranya tumbuh dalam keluarga yang rajin beribadah.
Abudllah Aidit sendiri merupakan seorang tokoh pendidikan Islam di Belitung.
Tidak hanya itu, dia juga seorang pendiri Nurul Islam, organisasi Islam dekat kawasan pecinan di kota itu yang masih masih tegak berdiri.
Sepulang sekolah, DN Aidit dan adik-adiknya kemudian belajar mengaji kepada Abdurrachman, adik ipar Abdullah Aidit.
Selesai mengaji, anak-anak Abdullah kemudian pergi ke sungai untuk mengambil air, sebagai kakak tertua, DN Aidit biasanya membawa jerikan paling besar.
Orang-orang di Jalan Belantu juga menganal DN Aidit sebagai muazin atau tukang azan karena suaranyalah yang paling keras.
Awal 1936, ketika usianya baru menginjak 13 tahun, DN Aidit merantau ke Batavia (sekarang Jakarta) untuk melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah setingkat SMP.
Di kampung halaman DN Aidit, sekolah tertinggi hanya sampai HIS, jika ingin melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi mereka harus pergi ke Medan atau Batavia.
Saat itu, meninggalkan Belitung bukanlah hal lazim, pemuda yang merantau sampai ke Jawa dapat dihitung jari.
Namun DN Aidit akhirnya berhasil meyakinkan sang ayah.
“Abang saya paling jarang meminta sesuatu kepada Bapak,” kata Murad Aidit, adik kandung Achmad.
Kalau sudah sampai meminta sesuatu, kata Murad, itu artinya tekad DN Aidit sudah benar-benar bulat.
Ada empat syarat yang harus dipenuhi seorang pemuda supaya diizinkan merantau, di antaranya bisa memasak sendiri, bisa mencuci pakaian sendiri, sudah disunat, serta sudah khatam mengaji.
Keempat syarat itu sudah dipenuhi oleh DN Aidit.
Sampai di Jakarta, DN Aidit tinggal di rumah teman ayahnya, Marto, seorang mantra polisi di kawasan Cempaka Putih.
Sayangnya ketika sampai di Jakarta, pendaftaran MULO sudah ditutup.
DN Aidit akhirnya harus puas bersekolah di Middestand Handel School (MHS), sebuah sekolah dagang di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Bakat kepemimpinan DN Aidit dan idealismenya yang berkobar-kobar langsung menonjol di antara kawan sebayanya.
Di sekolahnya yang baru, DN Aidit mengorganisasi kawannya melakukan bolos massal untuk mengantar jenazah seorang pejuang kemerdekaan, Muhammad Husni Thamrin untuk dimakamkan.
Karena terlalu aktif di luar sekolah membuat DN Aidit tidak pernah menyelesaikan sekolahnya di MHS.
Tiga tahun di Cempaka Putih, Aidit pindah ke sebuah rumah di Tanah Tinggi 48, kawasan Senen, Jakarta Pusat.