Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan sejumlah masalah dalam program Kartu Prakerja. KPK menyoroti empat hal terkait program ini. Pertama, soal pendaftaran.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan ada 1,7 juta pekerja terdampak (whitelist). Namun, hanya sebagian kecil dari whitelist tersebut yang mendaftar, yakni hanya 143.000 orang.
Padahal ada 9,4 juta orang yang mendaftar selama tiga gelombang. Penggunaan anggaran sebesar Rp 30,8 miliar untuk fitur recognition guna pengenalan peserta juga dinilai tak efisien.
KPK menilai, kemitraan dengan platform digital rentan penyelewengan karena dilakukan tanpa melalui mekanisme Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Tak hanya itu. KPK juga menemukan terdapat konflik kepentingan pada lima platform digital dengan lembaga penyedia pelatihan.
Selain itu, KPK menilai kurasi materi pelatihan tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai. KPK juga menemukan pelatihan yang sebenarnya telah tersedia melalui jejaring internet dan tidak berbayar.
Terakhir, KPK menilai metode pelaksanaan program pelatihan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan dapat merugikan keuangan negara. Sejak pertama kali diluncurkan, program ini memang tak pernah sepi dari kritik.
Program ini dianggap hanya menghambur-hamburkan anggaran karena tak tepat sasaran dan sesuai kebutuhan. Selain itu, usai ikut pelatihan tak ada jaminan peserta akan mendapat pekerjaan.
Pasalnya, banyak perusahaan yang menghentikan operasional atau menutup pabrik selama pandemi. Alih-alih melakukan rekrutmen atau penerimaan karyawan, banyak perusahaan yang merumahkan karyawannya atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Program ini juga dikritik karena dinilai tak tepat sasaran. Banyak warga biasa yang notabene bukan pengangguran dan korban PHK bisa lolos menjadi peserta. Mekanisme pelaksanaan program ini juga menjadi sorotan.
Apa saja temuan KPK terkait progam Kartu Prakerja? Apa saja rekomendasi KPK?
#DuaArah #KartuPrakerja #KPK