Ahli Hukum: UU Cipta Kerja Berubah Setelah Disahkan, UU Bisa Batal

KompasTV 2020-10-13

Views 4K

JAKARTA, KOMPAS.TV - 5 Oktober 2020, draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja disetujui DPR dan disahkan bersama pemerintah dalam rapat paripurna yang lebih cepat dari jadwal.

Saat itu, draf RUU yang beredar setebal 905 halaman diperoleh dari Pimpinan Badan Legislasi DPR meski belum bisa diakses publik lewat laman dpr.go.id.

Alasannya masih ada kesalahan penulisan kata serta kurangnya tanda baca.

Senin (12/10/2020) pagi, beredar lagi draf UU Cipta Kerja yang berbeda setebal 1.035 halaman.

Namun pada Senin (12/10/2020) malam, Kompas kembali menerima draf UU Cipta Kerja berbeda yang berubah lagi, menyusut menjadi total 812 halaman.

Sekjen DPR Indra Iskandar menyebut, versi 812 halaman ini telah ditandatangani Ketua Fraksi DPR.

Ini adalah info terakhir dari Badan Legislasi DPR dan draf inilah yang akan dibawa ke Presiden Joko Widodo.

"Iya, 812 halaman. Pakai format legal jadi 812 halaman," kata Indra Iskandar seperti dikutip dari cnbcindonesia.com.

Meski demikian selain dari jumlah halaman, hasil pengecekan Kompas mengungkap ada perbedaan sejumlah substansi dalam tiga draf yang beredar.

Misalnya soal aturan pesangon ada perubahan bunyi pasal 156 dari draf versi 905 halaman yang mengatur pemberian pesangon saat terjadi PHK, diberikan "paling banyak" 19 kali upah sesuai masa kerja.

Pada draf 1.035 halaman, frasa "paling banyak" dihapus dan diganti dengan frasa "dengan ketentuan" yang dipertahankan pada draf versi 812 halaman.

Dengan berubah-ubahnya draf Undang-undang Cipta Kerja, wajar jika publik mempertanyakan draf sebenarnya yang disahkan dalam rapat paripurna.

Terlebih perubahan dilakukan secara tertutup oleh badan legislasi DPR dan tim tertentu di luar masa sidang resmi.

Lalu apakah dengan segala perubahan rancangan yang sudah disahkan jadi Undang-undang Cipta Kerja basis hukumnya kuat?

Apakah boleh setelah pengesahan masih ada perubahan-perubahan pada rancangan?

Simak dialog lengkapnya bersama Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia, Jentera, Bivitri Susanti.

Share This Video


Download

  
Report form