Lili Pintauli Siregar terpilih sebagai Komisioner KPK pada 13 September 2019. Ia memperoleh dukungan 44 suara dari 56 anggota Komisi III DPR.
Kini, posisi Lili terancam setelah Dewas KPK, yang terdiri dari Tumpak Hatorangan Panggabean, Albertina Ho dan Harjono, mendapati Lili terbukti berhubungan dengan Syahrial, Wali Kota Tanjung Balai, yang kini sedang diadili.
Berhubungan dengan pihak berperkara, selain merupakan pelanggaran etik berat tetapi juga berpotensi menjadi pidana.
Dalam UU KPK Pasal 36 Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang: 1. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun.
Berhubungan langsung dengan pihak berperkara diancam hukuman lima tahun penjara. Syahrial sedang dituntut hukuman tiga tahun penjara.
Lili menginformasikan bahwa perkara Syahrial ditangani KPK. Syahrial meminta tolong dan Lili kemudian meminta Syahrial untuk menghubungi seorang pengacara di Medan.
Selain masalah tersebut, Lili juga menggunakan pengaruhnya untuk memperjuangkan uang jasa bagi kerabatnya yang pernah menjadi pelaksana tugas Dirut PDAM Tirta Kualo Tanjung Balai.
Tindakan Lili itu amat memalukan dan bisa merusak kredibilitas KPK yang memang sedang bermasalah.
Namun, Dewas KPK tidak berani meminta Lili untuk mundur. Dewas hanya menjatuhkan hukuman potong gaji 40 persen selama 12 bulan.
Dengan gaji Wakil Ketua KPK Rp 4,6 juta berarti gaji Lili akan dipotong Rp 1.840.000. Sangat sangat ringan. Ditambah tunjangan masih ada Rp85 juta yang akan dibawa LIli.
Sangat wajar jika rasa keadilan publik terkoyak. Tuntutan untuk mundur pun disuarakan.
Mundur memang pilihan terbaik daripada menjadi beban bagi dirinya dan bagi KPK.
Rasanya, perlu ada reformasi total di KPK. KPK baru hasil revisi telah melahirkan dua pimpinan KPK "bermasalah" secara etik.