TEMPO.CO - Ponten buruk disampaikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Lembaga itu mencatat masih banyak peraturan pemerintah daerah yang diskriminatif sepanjang 2018. Temuan tersebut menunjukkan semakin rendahnya komitmen terhadap penghormatan hak asasi.
Sepanjang 2018, Komnas HAM menerima 6.071 berkas laporan. Dari jumlah itu, pemerintah daerah menjadi pihak yang paling banyak dilaporkan, yakni 682 kasus. Komisi juga menyebutkan tak sampai sepersepuluh jumlah pemerintah daerah yang memakai prinsip HAM dalam kebijakannya. Salah satu contoh buruknya kebijakan pemerintah daerah ditunjukkan oleh Bupati Bantul Suharsono pada akhir Juli lalu, yang meneken surat pencabutan izin mendirikan bangunan rumah ibadah Gereja Pantekosta di Indonesia Immanuel Sedayu.
Sempitnya pola pikir Wali Kota Depok Mohammad Idris pada awal Agustus lalu, yang mengusulkan perubahan nama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menjadi Kementerian Pemberdayaan Keluarga dan Anak, juga menjadi contoh lain. Idris beralasan perubahan nama kementerian diperlukan agar laki-laki sebagai suami dan penanggung jawab juga diberdayakan untuk melindungi keluarga.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang kepala daerah tak paham ihwal alasan keberpihakan kepada perempuan dan anak, yang selama ini dianggap sebagai kelompok paling rentan.
Ada juga pelarangan anak usia 17 tahun ke bawah dan perempuan di Aceh Utara untuk keluar rumah pada malam hari dan pada jam belajar tanpa didampingi orang tua. Hal tersebut ada dalam deklarasi bersama oleh 28 organisasi masyarakat, Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib, dan sejumlah ulama serta tokoh masyarakat pada awal Juli lalu.
Pada level lebih tinggi, komitmen Presiden Joko Widodo pada isu ini juga rendah. Tak mungkin berharap pemerintah daerah menggunakan standar HAM dalam kebijakan pembangunannya jika pemerintah pusat abai terhadap sejumlah kasus HAM yang menahun.
Selama lima tahun pada periode pertama pemerintahan Jokowi, tercatat sejumlah pelanggaran HAM masih terjadi. Di antaranya pelarangan unjuk rasa, pemberlakuan hukuman mati, kekerasan oleh aparat negara, konflik antara warga dan aparat keamanan di Papua, hingga kebebasan beragama yang dibatasi. Belum lagi kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang gagal dituntaskan Jokowi.
Sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu di antaranya kasus Trisakti, Semanggi I dan II, peristiwa 1965, kasus Talangsari, dan kasus Munir. Padahal Jokowi pula yang menjanjikan penyelesaian kasus HAM berat itu dalam kampanye pemilihan presidennya.
Harapan pun makin pupus karena menteri yang diangkat Jokowi, khususnya di jabatan strategis pada periode kedua kepemimpinannya, adalah sosok bermasalah. Prabowo Subianto, yang diduga sebagai dalang penculikan aktivis prodemokrasi, malah ditunjuk menjadi Menteri Pertahanan.
Peraturan-peraturan daerah yang tidak menghormati hak asasi semestinya dicabut. Pemerintah haruslah melindungi hak asasi seluruh warga negaranya, bukan malah merampasnya.
Subscribe: https://www.youtube.com/c/tempovideochannel
Official Website: http://www.tempo.co
Official Video Channel on Website: http://video.tempo.co
Facebook: https://www.facebook.com/TempoMedia
Instagram:https://www.instagram.com/tempodotco/
Twitter: https://twitter.com/tempodotco
Google Plus: https://plus.google.com/+TempoVideoChannel