Di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, terjadi penertiban terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang mengundang kontroversi.
Sarmila, seorang pedagang gorengan di Jalan Nasrun Amrullah, mengaku kaget dan kecewa karena gerobaknya ikut ditertibkan oleh Satpol PP, meski ia merasa telah memberikan setoran kepada oknum polisi agar lapaknya aman dari razia.
Penertiban dilakukan pada Senin, 14 Oktober 2024, sekitar pukul 09.00 WITA, tidak jauh dari kantor Polsek Turikale. Dalam razia tersebut, gerobak milik Sarmila disita oleh Satpol PP. Ia menyebutkan bahwa selama tiga tahun berjualan gorengan di lokasi tersebut, baru kali ini mengalami penertiban.
"Selama tiga tahun saya jualan di sini, sebelumnya tidak pernah ada masalah. Baru setelah pergantian Kapolsek, mulai diminta setoran," jelasnya kepada wartawan.
Sarmila menyatakan bahwa ia diminta membayar antara Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu kepada seseorang yang mengaku diperintah oleh Kapolsek Turikale agar gerobaknya tidak diganggu razia.
"Ada orang yang datang bilang kalau Kapolsek yang suruh minta. Saya bayar sesuai permintaan, tapi tetap saja lapak saya disita," ungkap Sarmila, dengan nada kesal.
Pengakuan ini memicu pertanyaan publik terkait transparansi penertiban dan adanya praktik pungutan liar di lapangan. Hal ini juga memperlihatkan bagaimana pedagang kecil seperti Sarmila merasa terjebak dalam sistem yang tidak adil.
Kasus ini mencerminkan dilema pedagang kecil yang harus bertahan di tengah ketidakpastian kebijakan dan praktik pungutan tidak resmi.
Tidak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap penegakan hukum di daerah tersebut.
Penertiban ini menuai kritik dari berbagai pihak yang berharap agar pemerintah memberikan solusi adil dan melindungi usaha kecil dari praktik semacam ini.