PONTIANAK, KOMPAS.TV - Kelompok meriam karbit Setia Tambelan di Kelurahan Tambelan Sampit, Kecamatan Pontianak Timur ini, menjadi salah satu kelompok yang menyiapkan meriam karbit. Batang-batang kayu raksasa yang sebelumnya direndam di dalam sungai kapuas ini, diangkat ke permukaan untuk dibersihkan.
Setiap malam hari, para pemuda bergotong-royong mempersiapkan batang-batang meriam. Salah satunya melilitkan simpai atau tali pengekang batang meriam menggunakan rotan. Simpai ini dipasang untuk meredam ledakan, agar batang meriam yang telah dibelah dan dibolongkan ini tidak pecah saat dibunyikan.
Untuk proses melilit simpai tali rotan ini, pada satu meriam setidaknya membutuhkan waktu hingga satu hari. Setelah pelilitan simpai seluruh batang meriam ini selesai, batang-batang meriam ini nantinya akan dinaikkan pada landasan peledakan. Selanjutnya, batang meriam polos ini akan diberi cat atau hiasan agar lebih menarik.
Pada Idufitri kali ini, masyarakat bergotong-royong untuk biaya pembuatan. Sebab, untuk memasang tali simpai saja membutuhkan biaya hingga 1,5 juta rupiah untuk satu batang meriam. Sementara itu, untuk bahan karbit yang disiapkan tahun ini, sebanyak 100 kilogram untuk dimainkan selama dua hari dua malam.
Pemerintah Kota Pontianak resmi meniadakan festival meriam karbit untuk mencegah kerumunan. Namun pemerintah tetap memperbolehkan, jika masyarakat ingin tetap membunyikan meriam karbit asal tidak terjadi kerumunan.
Peneliti sejarah Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalbar menjelaskan, permainan meriam karbit erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Kota Pontianak. Pada zaman dahulu, pendiri Kota Pontianak Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, membunyikan meriam untuk mengusir para perompak.
Dibunyikannya meriam karbit setiap bulan ramadan di Kota Pontianak ini, dilakukan untuk mengingat awal berdirinya Kota Pontianak.
Hingga kini, meriam karbit menjadi tradisi yang melekat di masyarakat dan telah ditetapkan pada tahun 2016 sebagai warisan budaya tak benda.