JAKARTA, KOMPAS.TV - Dinamika politik bergerak begitu cepat. Koalisi partai politik pun terus berubah-ubah. Satu partai yang awalnya akan melakukan kerjasama politik dengan satu partai pindah haluan kepada partai lain.
PAN yang awalnya akan menjalin kerjasama dengan PDI-P mengusung Ganjar Pranowo pindah haluan bergabung ke Blok Gerindra dan PKB yang mengusung Prabowo Subianto.
Hal yang sama juga pada Golkar, munas Golkar menetapkan Airlangga Hartarto sebagai capres, namun kemudian golkar berlabuh ke Prabowo.
Banyak orang berspekulasi, manuver koalisi sangat ditentukan oleh Presiden Jokowi yang disebut sebagai pak lurah.
Dalam pidato tahunan sidang tahunan MPR pada Rabu (16/8/2023), Presiden Jokowi menegaskan ia bukan 'lurah' tapi Presiden Republik Indonesia.
Sementara urusan koalisi adalah urusan partai-partai.
Dalam UU Pemilu Presiden mengatur capres dan cawapres harus mundur dari jabatannya. Artinya jika Prabowo akan maju dalam pilpres ia harus mundur dari jabatannya sebagai Menteri Pertahanan.
Begitu juga jika ada menteri lain yang akan maju dia juga harus mundur sebagai menteri.
Presiden Jokowi harus memastikan kabinetnya tetap bisa melunasi janji kampanye. Para menteri yang akan berkampanye juga akan mengurangi konsentrasi sebagai kabinet.
Presiden perlu mengantisipasi soliditas kabinetnya. Reshuffle akan menjadi kenyataan. Menteri-menteri baru akan masuk untuk mengawal perjalanan pemerintahan sampai Oktober 2024.
Jelang pemilu presiden, Presiden Jokowi harus memastikan jalannya pemerintahan dan kinerja kabinet tak boleh berkurang.
Janji konsitusional maupun janji kampanye menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu menggolkan UU perampasan aset, mengatasi korupsi, membangun dari pinggiran tetap perlu dituntaskan hingga akhir pemerintahan Presiden Jokowi.
Video Editor: Laurensius Galih
Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/video/436177/nasib-kabinet-jokowi-jelang-pilpres-2024-opini-budiman